refleksi |
Dalam perjalanan kehidupan manusia banyak sekali peristiwa
yang menjadikan seorang manusia berubah, baik perubahan ke arah yang lebih baik
maupun sebaliknya. Banyak manusia yang berubah secara tiba-tiba dengan berbagai
alasan termasuk adanya faktor eksternal lingkungan disekitarnya.
Saat ini kita melihat banyak sekali para artis yang kita
anggap sebagai public figure atau trend setter sehingga banyak dari para
penggemarnya mengikuti apa yang dilakukan dan ditampilkan para idolanya. Hal
itu tidak dapat dinafikkan dan memang suatu hal yang "diwajarkan"
oleh otak sadar maupun otak bawah sadar kita. Lambat laun, yang menjadi idola
dan mengidolakan pun semakin "kreatif" dan "inovatif"
mengembangkan karakter khas komunitasnya dan bangga atas apa yang mereka
tampilkan dan mereka lakukan. Para pengidola seolah tersihir dan terhipnotis
bahwa apa yang mereka contoh itu hanya fana, semu dan tak berarti.
Jika suatu ketika sang pengidola melakukan
"kesalahan" dalam langkah hidupnya sehingga cerita indahnya berubah
menjadi kelam, terjurumus dalam kegelapan. Para pengidola akan serempak
mengatakan, "Ah wajar, kan manusia biasa. Bisa salah dan khilaf!".
Kemudian mereka tetap setia menanti sang idola "kembali" ke
gelanggang dunia hiburan.
Disisi lain, di dunia para ulama sejati yang tanpa pamrih
menebarkan dakwah tanpa mengenal lelah dan letih pengorbanan terdapat suatu hal
yang amat berbeda. Pada awalnya seorang ulama begitu tak dikenal, kemudian ia
berubah menjadi sangat terkenal dan mempunyai banyak majelis ta'lim sebagai
lahan dakwahnya. Dari sekian banyak para "pengikutnya" tersebut
banyak yang berubah, paling tidak dari segi fisik (penampilan, dll). Namun,
sang ulama takkan pernah berubah meski godaan dunia melambai untuk memberi
kenikmatan sejati, sang ulama pun tak bergeming, tetap istiqomah.
Namun, suatu ketika sang ulama melakukan hal yang kurang
baik menurut kacamata publik (misal: poligami), para pengkitnya
berbondong-bondong menjadi penghujat dan meninggalkannya begitu saja. Pada hal
tersebut bukan hal yang haram. Lontaran kalimat penghakiman sepihak dari publik
pun langsung menyeruak ke seantero dunia nyata dan dunia global. Hanya sedikit
dari mereka yang tetap percaya dan mengikuti sang ulama dan melihat dengan kacamata
kebenaran. Karena sebagian besar menganggap sang ulama bukan manusia biasa,
"tak punya salah, tak punya khilaf!".
Begitu mudahnya kita menghakimi seseorang yang nampak baik
atau buruk hanya atas satu atau dua perbuatan yang nampak oleh kita. Tak digunakanlah
mata hati kita untuk melihat kebenaran yang ada, salahkah orang lain atau
terlalu burukkah "kacamata" hati kita?
Dipublikasikan Dakwatuna.com
Justifikasi : Refleksi Kaca Mata Hati
Reviewed by adie
on
Oktober 10, 2012
Rating:
Tidak ada komentar: